Hukuman Dikembalikan Pada Orangtuanya : Pragmatisme Sempit atau Keputusan Bersama yang Tepat? Siapa yang dikorbankan?
Jombang - Di ruang rapat itu, para guru berdebat soal sanksi yang pantas bagi santri yang telah melanggar aturan sekolah. "Anak ini sudah tak pantas lagi bersekolah di sini. Dia mencoreng nama baik sekolah kita. Bapak kepala sekolah, saya usul agar dia dikembalikan saja pada orangtuanya." Begitu pendapat salah seorang guru.
"Tolonglah, Pak! Pertimbangkan lagi. Saya setuju hukuman harus diberikan agar anak menjadi jera atas kesalahannya. Memang benar dia sudah melakukan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan. Baik dilihat dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) maupun sudut hukum negara. Tetapi, sanksi tetap harus mendidik. Dia anak kita. Meski salah, jangan sampai anak merasa dibuang, tapi alangkah baiknya direngkuh dengan kasih sayang," usul bantahan dari guru yang lain.
Singkat cerita, hingga kini dalam persekolahan kita hukuman berupa dikembalikan pada orangtua kerap terjadi. Dan menjadi perdebatan di kalangan pendidik. Sebab apapun diksi yang dipergunakan, dikembalikan kepada orangtuanya untuk dibina menunjukkan fakta bahwa siswa dikeluarkan dari sekolah. Ini dianggap sebagai bentuk pembelajaran untuk tidak mengulang kesalahan yang sama.
Sekolah dalam mengambil keputusan pemberian sanksi berupa dikembalikan ke orangtuanya biasanya sudah melalui berbagai pertimbangan dan persetujuan orangtua. Tetapi, pemberian sanksi dikeluarkan dari sekolah yang selama ini diterapkan dalam persekolahan kita hendaknya dikaji lagi.
Sudah Disepakati
Keputusan mengembalikan siswa kepada orangtuanya untuk dibina memang merupakan penerapan sanksi atas pelanggaran tata tertib sekolah yang sebelumnya sudah disepakati semua pihak. Dan, karena akumulasi poin pelanggaran tata tertib sekolah sudah melampaui ketentuan yang ada. Alur berpikir semacam itu dijadikan pembenaran dalam mengambil keputusan; bisa diterima karena masuk akal. Tetapi, hal ini sekaligus menunjukkan bahwa persekolahan kita sedang terjebak pada kubangan pragmatisme sempit yang mengangkangi falsafah pendidikan sepanjang hayat.
Dulu, salah satu teman saya sekolah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) dikeluarkan dari sekolahnya. Gara-garanya dia kepergok ciuman dengan teman perempuan di kelas setelah pulang sekolah. Teman saya itu sempat dipindahkan ke MA swasta. Karena keluarganya kurang mampu untuk membiayai sekolah di swasta, akhirnya dia putus sekolah. Dari kejadian itu kita tahu bahwa hukuman dikembalikan ke orangtua atau dikeluarkan dari sekolah tidaklah bermanfaat.
Alih-alih membuat anak jera, malah sesungguhnya telah melanggar hak anak dalam melanjutkan pendidikannnya. Maka dari itu, saya pikir hukuman ini tak perlu lagi diterapkan di persekolahan kita. Sekolah sesungguhnya adalah tempat untuk mendidik budi pekerti anak-anak kita. Mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia, yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Jika dalam prosesnya ditemui penyimpangan, maka tugas pendidikan adalah mengembalikan kepada jalur yang benar.
Tujuan pendidikan sebagaimana ditegaskan Ki Hadjar Dewantara adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Hakikat pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan kebudayaan.
Apabila anak didik itu bersalah, maka dituntut untuk membuat suatu pengakuan dan dituntun untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan secara ksatria. Dalam arti ini, anak didik diajar untuk tahu diri, mengerti tugas dan konsekuensi dari segala keputusan beserta tindakannya. Hal itu berarti dunia pendidikan diharapkan mampu mengembangkan bukan hanya segala potensi akademik, tetapi sekaligus jiwa dan roh kebebasan dari para pembelajar agar tujuan pendidikan tercapai.
Harus Jernih
Hukuman bagi siswa yang melakukan perilaku menyimpang harus diupayakan mampu menyadarkan akan kesalahan, menuntun mereka ke jalan yang benar, dan tidak mengulang kembali kesalahan lagi. Ketika anak-anak salah, janganlah sampai mereka merasa "dibuang", tapi rengkuhlah dengan kasih sayang secara bersama. Ini adalah tanggung jawab bersama antara sekolah, orangtua bahkan juga masyarakat.
Kita harus jernih melihat kasus perilaku menyimpang siswa yang akhir-akhir ini marak terjadi. Hukuman memang harus diberikan sebagai bagian dari proses pendidikan. Menggunakan hukuman sebagai alat pendidikan sangat mungkin diterapkan. Tetapi, apakah kriteria tatkala menjatuhkan hukuman yang mendidik sudah dipenuhi sekolah?
Sebagai dasar pijakan menganalisis, marilah kita gunakan konsep dasar pendidikan nasional yang sendi-sendinya diletakkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Menurut Ki Hadjar, hukuman sebagaimana juga ganjaran, adalah alat pendidikan. Hukuman dan ganjaran sebagai alat pendidikan sangat tergantung kepada maksud dan tujuannya. Hukuman dan ganjaran diberikan seharusnya hanya untuk menunjukkan buahnya perbuatan Perbuatan baik berbuah baik, perbuatan buruk berbuah buruk.
Dengan demikian, tidak ada alasan menjatuhkan hukuman untuk membuat jera. Agar hukuman melekat di dalamnya sifat mendidik, harus dipenuhi tiga syarat. Pertama, sepadan dengan kesalahan yang dilakukan. Kedua, segera dijatuhkan tanpa ditunda dan tanpa diakumulasi dengan kesalahan yang lainnya. Ketiga, adil bagi siapapun, tidak memandang latar belakang status sosial, ekonomi, budaya, dan asal-usul. Jika ketiga syarat ini tak terpenuhi, maka sebenarnya tiadalah hukuman yang mendidik itu.
Berulang kali ditegaskan, tugas pendidikan itu sangat mulia. Tugas mulia inilah yang diemban para pendidik dan tenaga kependidikan yang direpresentasikan dalam lembaga pendidikan bernama sekolah. MJ Langeveld menyatakan, pendidikan adalah upaya menolong anak untuk dapat melakukan tugas hidupnya secara mandiri supaya dapat bertanggung jawab secara susila. Pendidikan merupakan usaha manusia dewasa dalam membimbing manusia yang belum dewasa menuju kedewasaan.
Apabila mengeluarkan siswa dari sekolah masih dipergunakan dalam praktik pendidikan, maka tugas mulia pendidikan itu telah gagal diemban sekolah. Setidaknya sekolah yang merepresentasikan sebagai manusia dewasa telah gagal membimbing manusia yang belum dewasa menuju kedewasaan.
Kesimpulan, bahwa sekolah telah gagal membangun budaya sekolah yang menuntun segala kekuatan kodrat anak didik agar menjadi manusia dan anggota masyarakat yang mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Pantas kiranya sekolah gagal semacam ini tidak terakreditasi. Berapapun nilai capaian hasil akreditasinya!
Komentar
Posting Komentar